Pemberatan pidana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terbagi menjadi dua, yaitu pemberatan pada pidana umum dan pemberatan pada pidana khusus.
Dasar pemberatan pidana umum
Dasar-dasar yang menyebabkan diperberatnya pidana umum yaitu:
1. Dasar pemberatan pidana karena jabatan
Pemberatan pidana ini berdasarkan pasal 52 KUHP yang rumusannya adalah sebagai berikut:
“Bilamana seorang pejabat Karena melakukan tindak pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya pidananya dapat ditambah sepertiga.”
Undang-undang ini melahirkan 4 poin pemberatan, yaitu:
A. Melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatan
Seperti seorang polisi yang diperintahkan bertugas menjaga keamanan sebuah bank akan tetapi kewajiban itu dilanggarnya dengan melakukan tindak pidana yang justru menyerang keamanan bank, dia berkomplot dengan orang lain untuk merampok bank tersebut dengan memberi informasi, merancang kejahatan, serta berperilaku pasif untuk memberi kesempatan kepada rekan-rekannya menjalankan aksi perampokan.
B. Melakukan tindak pidana dengan menggunakan kekuasaan jabatan
Seperti seorang penyidik yang mana dengan jabatannya memiliki kekuasaan untuk menangkap dan menahan seorang tersangka, akan tetapi dia menggunakan kekuasaannya itu untuk menangkap musuh pribadi yang sangat dibencinya tanpa mempedulikan ada tidaknya alasan penahanan, atau dengan merekayasa alasan dari tindakannya itu.
C. Melakukan tindak pidana dengan menggunakan kesempatan dari jabatan
Seperti seorang polisi yang bertugas mengamankan barang-barang penumpang kecelakaan bus, akan tetapi dia mengambil bagian dari barang milik penumpang dengan maksud memiliki.
D. Melakukan tindak pidana dengan menggunakan sarana jabatan
Seperti seorang polisi diberi hak untuk menguasai senjata api, mamun dengan senjatanya itu dia justru menembak mati musuh pribadi yang dibencinya.
2. Dasar pemberatan pidana dengan menggunakan sarana bendera kebangsaan
Pidana ini dirumuskan dalam pasal 52 a, KUHP yang bunyi lengkapnya adalah:
“Bilamana pada waktu melakukan kejahatan digunakan bendera kebangsaan Republik Indonesia pidana untuk kejahatan tersebut dapat ditambah sepertiga.”
3. Dasar pemberatan pidana karena pengulangan
Ada dua arti pengulangan:
- Menurut masyarakat: tindakan pidana faktanya dilakukan secara berulang-ulang.
- Menurut arti hukum pidana: tindakan tersebut dilakukan secara berulang-ulang dengan syarat tertentu
Pengulangan yang dimaksud dalam hukum pidana terbatas pada tindak pidana tertentu. Seperti pada pasal 486, 487, 488 KUHP.
Namun pelaksanaan pemberatan pada ketiga pasal di atas harus memenuhi dua syarat esensial berikut:
- Pelaku harus telah menjalani seluruh atau sebagian pidana yang telah dijatuhkan Hakim. Ia telah difonis bebas dari menjalani pidana. Atau ketika ia melakukan kejahatan kedua kalinya, hak negara untuk menjalankan pidananya belum kadaluarsa.
- Melakukan pengulangan kejahatan dalam waktu belum 5 tahun sejak terpidana menjalani sebagian atau seluruh pidana yang dijatuhkan.
Dasar pemberatan pidana khusus
Ada beberapa macam dasar pemberatan pidana khusus, tergantung tindak pidana yang diperbuat. Namun pada dasarnya, alasan pemberatan pidana ini terletak pada dua segi, yaitu segi objektif dan subjektif.
Segi Objektif
Segi objektif pemberatan ini terletak pada beberapa sebab, antara lain:
1. Akibat perbuatan, misalnya mengakibatkan luka berat atau kematian (pasal 170 ayat 2 & 3), dan pencurian dengan kekerasan (pasal 365 ayat 3).
2. Cara melakukan perbuatan, misalnya dengan tulisan melakukan pencemaran (pasal 310 ayat 2), dengan tipu muslihat melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan (pasal 332 ayat 2)
3. Melakukan pengulangan, misalnya tindak pidana yang diuraikan dalam pasal 82 ayat 3, dan pasal 299 ayat 2.
4. Objek tindak pidana, misalnya ternak (pasal 363 ayat 1), atau tindak pidana terhadap ibunya, bapaknya, istri atau anaknya, atau terhadap pejabat ketika / karena menjalankan tugas yang sah (pasal 356 ke 1 dan 2)
5. Subjek tindak pidana (si pelaku), misalnya dokter, tabib, bidan, atau juru obat (pasal 349 KUHP).
Segi subjektif
Segi subjektif pemberatan pidana misalnya dengan rencana terlebih dahulu (pasal 340, 353 ayat 1).
__________
Sumber:
- Drs. Adami Chazawi, S.H., Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Raja Grapindo Persada, Jakarta, hlm: 75-98.
- Dr. Andi Hamzah, S.H., KUHP & KUHAP, Rineka Cipta, Jakarta, 2014, hlm: 25-139.